Jumat, 07 Oktober 2011

BRIKET BATUBARA

BERBAGI MENGENAI "BRIKET BATUBARA"

Batubara, sebagai bahan bakar yang kaya zat karbon, merupakan komponen yang sangat penting didalam energy mix di banyak negara. Amerika Serikat, sebagai contoh, menggunakan batubara lebih dari 52% untuk menghasilkan tenaga listriknya, dan menjadikan batubara sebagai bahan bakar utama bagi industri besar yang menggunakan panas tinggi dalam jumlah banyak (heat-intesive industries) seperti industri peleburan baja, semen, dan lain-lain. Negara-negara lain seperti China, Australia, Ceko, dan Yunani, lebih dari 70% tenaga listriknya dihasilkan dari pembakaran batu bara. Bahkan Polandia dan Afrika Selatan mencapai 95%. Indonesia sendiri, yang memiliki cadangan batu bara cukup besar (lebih dari 57,8 miliar ton), ”hanya” memanfaatkan batubara sekitar 40% (setara 28 juta ton pertahun) untuk keperluan pembangkit listrik. Sebagai bahan bakar primer, persentasi penggunaan batubara lebih kecil lagi, yakni sekitar 32 juta ton pertahun, atau 15% dari total energy-mix nasional.

Peran batubara yang semakin strategis, pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi minyak bumi yang ”tidak menentu”. Ketidakstabilan politik di negara-negara penghasil minyak, baik akibat internal maupun intervensi dari luar, serta cadangan yang terus menipis dan permintaan yang terus meningkat, telah mendorong banyak negara untuk mencari energi lain di luar minyak bumi. Dan jadilah batubara sebagai sumber energi pilihan utama yang diharapkan mampu menggantikan posisi minyak bumi. Tidak terlalu sulit diutak-utik karena, baik minyak bumi maupun batu bara, berasal dari sumber yang sama, yakni karbon (C); minyak bumi berupa karbon cair, sedangkan batu bara merupakan karbon padat. Sudah barang tentu penggunaan batubara sebagai bahan bakar padat membutuhkan sentuhan teknologi sehingga mampu berfungsi sejajar dengan minyak bumi. Terkait dengan hal ini, pemerintah Amerika Serikat telah menyiapkan anggaran sekitar $200 juta terhitung tahun 2002 hingga 10 tahun ke depan, yang akan digunakan bagi keperluan penelitian dan pengembangan (litbang) teknologi batubara bersih (clean coal technology) agar mampu menciptakan sumber energi yang bersih, aman, terjangkau, dan berkesinambungan. Suatu bukti, dan juga keseriusan negara adidaya, bahwa ”racun” yang ada pada batubara diyakini dapat dihilangkan, dan menjadikan batubara sebagai sumber energi yang handal.

Briket Batubara Sebagai Bahan Bakar Alternatif
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) melalui ”Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025”, telah menata kembali energy-mix nasional dengan menempatkan batubara sebagai salah satu sumber energi andalan. Jika peran batubara hanya 14% pada tahun 2005, maka akan dinaikkan menjadi 33% pada tahun 2025. Sebaliknya, peran BBM diturunkan dari 54% (2005) menjadi 33% (2025). Peningkatan peran batubara dalam energy-mix bukan impelementasi dari sikap panik pemerintah akibat harga minyak bumi dunia yang ”tidak wajar”, tetapi justru merupakan langkah antisipasi agar tidak terjadi krisis energi menyusul cadangan minyak bumi kita yang makin menipis. Kenaikan harga minyak bumi dunia, boleh jadi telah memicu percepatan untuk memperbaiki energy-mix yang dirasakan timpang, namun yang paling penting adalah, bahwa negeri ini memiliki sumber daya batubara dalam jumlah besar (57,8 miliar ton).
Sebagai sumber energi, batubara dapat direkayasa dalam berbagai bentuk atau penggunaan. Ia dapat diubah menjadi cair melalui pencairan (liquefaction), gas melalui gasifikasi, atau sesuai dengan aslinya (padat). Ia juga dapat digunakan secara langsung atau melalui proses pengemasan. Semua rekayasa ini tercipta melalui teknologi yang beraneka ragam, mulai dari yang paling sederhana sampai moderen, serta telah bersifat komersil di hampir seluruh penjuru dunia. Dan salah satu dari sekian banyak komersialisasi batu bara yang menggunakan teknologi sederhana adalah pengemasan batubara, atau lebih dikenal dengan sebutan briket batubara.

Briket batubara telah digunakan sejak awal tahun 80-an di beberapa negara, seperti China dan Korea Selatan. Indonesia sendiri mulai mengenal briket batu bara pada tahun 1993. Namun karena waktu itu harga minyak tanah sebagai kompetitor briket batubara masih rendah karena disubsidi, maka gaung briket batubarapun hanya “seumur jagung”. Kini, seiring dengan harga minyak tanah yang semakin mahal, maka ide penggunaan briket batubara di tanah air muncul kembali. Bahkan pemerintah telah merencanakan untuk membuat 10 juta tungku (anglo) briket batubara guna membantu masyarakat miskin yang tidak mampu membeli minyak tanah. Suara-suara kontra pun merebak; selain dianggap sebagai buang-buang uang karena mungkin akan bernasib sama seperti di zaman pemerintahan orde baru, polusi udara akibat pembakaran briket batu bara ternyata telah membahayakan kesehatan manusia, bahkan di China, telah menelan banyak korban jiwa.

Menggeneralisasi bahwa setiap pembakaran briket batubara berbahaya bahkan membuat nyawa melayang, perlu diklarifikasi karena dapat menyesatkan. Hal ini disebabkan oleh; Pertama, fakta menunjukkan bahwa setiap pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) pasti akan menimbulkan emisi berupa gas seperti CO, CO2, NOx, SOx dan lain-lain. Emisi seperti ini bukan hanya berasal dari pembakaran batubara, tetapi juga dari gas buang kendaraan bermotor. Untuk mengatasinya atau, paling tidak menguranginya banyak cara yang bisa dilakukan. Cara yang paling efektif adalah dengan mengatur dan membuat sistem pembakar sedemikian hingga menghasilkan pembakaran yang sempurna. Pembakaran yang sempurna, selain mengurangi emisi secara signifikan, juga akan membuat kinerja dan efesiensi penggunaan energi menjadi optimal. Kita melihat bagaimana kendaraan dengan asap buang yang tebal pasti tidak bertenaga dan boros bahan bakar; demikian pula kompor minyak tanah yang berasap akan lama memasak dan boros jika dibandingkan dengan kompor yang bernyala api biru. Nyala api berwarna biru menunjukan pembakaran yang lebih sempurna. Penggunaan batubara secara umum, dan briket batu bara, tidak terlepas dari fenomena tersebut. Dengan pembakaran sempurna, selain menghasilkan kinerja yang optimal, emisi gas juga akan berkurang secara signifikan karena sebagian besar dari emisi tersebut ikut terbakar.

Kedua, berbahaya-tidaknya pembakaran briket batubara tergantung pada tiga faktor utama, yaitu bahan baku (berupa batubara), bahan imbuhan untuk perekat dan penyaring emisi, serta kondisi tempat di mana briket batubara dibakar. Sejauh ini hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, batu bara Indonesia sebagai bahan baku briket batubara memiliki kadar sulfur dan abu yang rendah, masing-masing di bawah 1% (sulfur) dan 20% (abu). Sementara itu, dengan diperkenalkannya bio-briket batu bara, yang memakai bahan imbuhan berupa biomassa, emisi gas beracun ternyata dapat diminimalkan atau bahkan mendekati nol. Adapun pengaruh kondisi tempat pembakaran briket batu bara sangat tergantung sampai sejauh mana ventilasi ruangannya; semakin udara dapat bersikulasi dengan baik, semakin aman pembakaran briket batubara digunakan di ruangan.

Proses Pembuatan Briket Batubara
Tujuan utama pembuatan briket batubara adalah untuk membuat bahan bakar padat serbaguna dari batubara dengan kemasan dan komposisi yang lebih baik agar mudah dan nyaman digunakan jika dibandingkan dengan menggunakan batubara secara langsung. Untuk memperoleh briket batubara yang baik, diperlukan batu bara yang “baik”, terutama yang memiliki kandungan sulfur dan abu rendah. Bahan imbuhan juga harus dipilih dari kualitas yang baik agar dapat berfungsi optimal sebagai perekat, mempercepat nyala, serta menyerap emisi dan zat-zat berbahaya lainnya. Batubara dan bahan imbuhan (pencampur) ini dihaluskan secara sendiri-sendiri sampai ukuran tertentu, dicampurkan dengan memakai pencampur (mixer) mekanis, untuk kemudian “dicetak” (dibriket) ke dalam bentuk kemasan tertentu. Inilah yang namanya briket batubara. Dari proses sederhana tersebut, terlihat bahwa makin baik bahan baku yang digunakan, makin baik pula kualitas briket batu bara yang dihasilkan. Batu bara dengan kadar pengotor yang rendah akan menghasilkan emisi yang rendah pula. Sementara bahan imbuhan yang digunakan biasanya berupa kapur (lime) yang dapat mengikat senyawa beracun, biomasa untuk mempercepat/memudahkan proses pembakaran dan menyerap emisi, serta lempung, kanji atau tetes tebu (molase) sebagai zat perekat.

Ada tiga jenis briket batubara yang berbeda-beda komposisinya, yaitu :
1. Briket batubara biasa, campuran berupa batu bara mentah dan zat perekat (biasanya lempung). Sangat sederhana dan biasanya berkualitas rendah.
2. Briket batubara terkarbonisasi (kokas batubara), batubara yang digunakan “dikarbonisasi” (carbonised) terlebih dulu dengan cara membakarnya pada suhu tertentu yang bebas udara, sehingga sebagian besar zat pengotor, terutama zat terbang (volatile matters) hilang. Dengan bahan perekat yang baik, briket batubara yang dihasilkan akan menjadi sangat baik dan rendah emisinya.
3. Briket bio-batubara, atau dikenal dengan bio-briket, selain kapur dan zat perekat, kedalam campuran ditambahkan bio-massa sebagai substansi untuk mengurangi emisi dan mempercepat pembakaran. Bio-massa yang biasanya digunakan berasal dari ampas industri agro (seperti bagas tebu, ampas kelapa sawit, sekam padi, dan lain-lain) atau serbuk gergaji.

Bentuk dan ukuran briket batubara hasil cetakan (kemasan) dibuat sesuai untuk keperluan sektor pengguna. Saat ini telah dikembangkan dua bentuk briket batubara, yaitu tipe bantal (telor) yang padat dan kompak dengan ukuran 30 s/d 60 mm, dan tipe sarang tawon (berongga) dengan ukuran lebih besar (mencapai 15 cm). Kedua bentuk ini dibuat untuk memudahkan pemakaian dan memperoleh efisiensi pembakaran. Tipe bantal berukuran kecil cocok digunakan untuk rumahtangga (memasak), dan yang berukuran lebih besar baik digunakan untuk industri. Tipe sarang tawon juga dirancang untuk industri dan memerlukan “kompor” atau tungku yang khusus.

Sifat-sifat Briket Batubara yang baik antara lain:
• Tidak berasap dan tidak berbau pada saat pembakaran.
• Memiliki kekuatan/daya tekan tertentu sehingga tidak mudah pecah sewaktu diangkat dan dipindah-pindahkan.
• Mempunyai suhu pembakaran tetap, dengan jangka waktu nyala yang relatif lama (8-10 jam).
• Setelah pembakaran dan ada sisa, masih mempunyai kekuatan tekan sehingga mudah dikeluarkan dari dalam tungku atau dipindahkan ke tempat lain.
• Hasil pembakaran tidak mengandung gas karbon monoksida dengan kadar yang tinggi.
Tungku briket batubara
Rancangan tungku pada dasarnya dibuat untuk mencapai efesiensi pembakaran yang tinggi, serta tak kalah pentingnya, untuk menekan emisi gas yang dihaslkan. Jenis tungku sangat bergantung pada sektor penggunanya. Tungku untuk industri berukuran lebih besar daripada tungku untuk rumah tangga. Rata-rata tungku untuk industri memiliki kapasitas briket batubara 5 – 10 kg, sedangkan untuk rumah tangga hanya 1 – 2 kg.

Jenis tungku yang sudah banyak beredar di pasaran saat ini terbuat dari bahan tembikar (tanah liat); selain murah, juga mempunyai efisiensi antara 31 –33 % dan sudah terbukti kehandalannya, terutama dalam menekan laju emisi. Jenis tungku ini dilengkapi dengan penutup pengurang emisi (PPE). Untuk memperoleh suhu yang sesuai dengan kebutuhan produksi, tungku untuk industri biasanya dilengkapi dengan blower.

Kinerja briket batubara (komposisi dan tungku)
Kinerja (performance) adalah karakteristik pembakaran yang ditentukan oleh faktor waktu, suhu, dan kualitas udara pembakaran. Karakteristik pembakaran briket batubara dipengaruhi oleh jumlah briket batubara yang dibakar dan jenis tungku yang digunakan. Satu kilogram briket batubara dengan efisiensi tungku 31 – 33%, mempunyai efektivitas panas 1,5 – 2 jam dengan kisaran suhu 300 – 5000 C. Untuk 2 kg briket batu bara, lamanya waktu pembakaran antara 2,5 – 3 jam dengan kisaran suhu 400 – 6000 C. Hitung-hitungan ini mengindikasikan, briket batubara akan efektif dan efisien jika digunakan lebih dari 2 jam. Hal ini selain karena faktor suhu yang akan dicapai lebih baik, juga disebabkan faktor “kesulitan” tertentu. Faktor “kesulitan” dimaksud adalah, bahwa sekali briket batubara dibakar, maka harus digunakan sampai habis karena ia sulit dipadamkan atau dihidupkan kembali. Jika dibandingkan dengan minyak tanah, penggunaan 1 kg briket batubara setara dengan 0,6 liter minyak tanah, atau disebut 60% perliter minyak tanah.

Bagi industri kecil yang memerlukan panas dalam waktu lama, penggunaan briket batubara cukup ekonomis. Lain halnya dengan sektor rumah tangga, penggunaan briket batubara tidak semudah dan senyaman kompor minyak tanah, apalagi kompor gas. Di samping perlu waktu (5-10 menit, tergantung kualitas briket batubara) untuk menyulutnya, setelah menyala pun besar api agak sulit diatur. Belum lagi memperhitungkan ketidaknyamanan yang pasti muncul karena berbagai faktor. Inilah konsekuensi yang harus kita terima jika menggunakan bahan bakar padat seperti briket batubara.

Dampak lingkungan akibat pembakaran briket batubara

Nilai startegis dan ekonomis pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar sering terkendala oleh dampak lingkungan yang berasal dari emisi dan sisa pembakaran, yang langsung maupun tidak langsung berpengaruh kepada kesehatan manusia. Selain itu, pembakaran batu bara dengan jumlah yang sangat banyak akan mempengaruhi kondisi lingkungan, antara lain berupa CO2 dan lain-lain.
Secara umum polusi yang timbul akibat pembakaran briket batubara antara lain patikel halus, belerang dan NOx, trace elements (seperti flourine, selenium, dan arsen), serta bahan-bahan organik yang tidak terbakar secara sempurna . Unsur-unsur ini terbentuk pada saat pembentukan endapan batubara sebagai proses alam. Dengan demikian, untuk mendapatkan kondisi pembakaran yang “bersih”, semua zat pengotor tersebut harus ditiadakan, paling tidak, dicegah agar tidak merebak menjadi polutan yang teremisikan.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lingkungan akibat dari pembakaran briket batubara, yaitu:
Pertama, jenis bahan baku (batubara) dan bahan imbuhan yang digunakan harus menggunakan bahan yang bersih dari polutan. Semakin baik bahan yang digunakan, semakin sedikit emisi yang ditimbulkan. Emisi berbahaya, seperti gas SOx dan NOx, pada dasarnya ditimbulkan dari batubara dengan kadar pengotor yang tinggi. Bahan perekat yang berasal dari lempung harus dipilih dari jenis lempung yang tidak mengandung zat-zat berbahaya. Penelitian Badan Geologi Amerika Serikat (USGS, United State of Geological Survey) menunjukan bahwa sebagian masyarakat di provinsi Guizhou (China) yang keracunan arsenik karena mengkonsumsi merica yang dimasak oleh batubara berkadar arsen sangat tinggi. Demikian pula hampir 10 juta masyarakat dari provinsi yang sama terkena penyakit tulang dan gigi (kropos) akibat memakan jagung yang dikeringkan oleh briket batubara dengan lempung perekat berkadar flourine tinggi. Beruntung, batubara Indonesia pada umumnya memiliki kadar belerang yang sangat rendah (< 1%). Dengan proses karbonisasi awal, akan membantu pembuatan briket yang “ramah lingkungan”. Hasil penelitian tekMIRA menunjukkan, briket bio-batubara yang diberi imbuhan kapur mampu menekan emisi sampai 50%.
Kedua, tungku atau kompor yang digunakan hendaknya “mampu” memfasilitasi pembakaran yang sempurna; artinya, dapat menyeimbangkan aliran udara (oksigen) dengan baik. Tungku dengan Penutup Pengurang Emisi (PPE) yang dikembangkan oleh tekMIRA ternyata sangat membantu mengurangi emisi secara signifikan.
Ketiga, ruangan (dapur) tempat memasak hendaknya mempunyai ventilasi yang baik; artinya, udara segar dapat bersirkulasi dengan cepat. Kondisi ini akan sangat membantu menghindari dampak langsung dari polusi kepada kesehatan pemasak.
Dengan memperhatikan ketiga faktor di atas, secara teoritis dapat dihindari berbagai dampak negatif atas penggunaan briket batubara. Dari pengukuran emisi (SOx, NOx, dan CO) yang dilakukan tekMIRA, diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan briket batu bara (yang terpilih) secara umum masih aman dengan kadar emisi masih jauh di bawah ambang batas yang diperkenankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar